Minggu, 19 Mei 2013

KEHIDUPAN KEBUDAYAAN YANG ADA DI BADUY

Tenun

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berdialog dengan penduduk luar. Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.



Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen. Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar.

Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Suku Baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten.

Masyarakat Baduy yang menempati areal 5.108 ha (desa terluas di Provinsi Banten) ini mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja menolak (tidak terpengaruh) oleh masyarakat lainnya, dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Penembahan Arca Domas) dan keramat. Namun intensitas komunikasi mereka tidak terbatas, yang terjalin harmonis dengan masyarakat luar, melalui kunjungan.
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu.

Masyarakat Baduy bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun. Puun bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya. Sebagai tanda setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun suku yang berjumlah 7.512 jiwa dan tersebar dalam 67 kampung ini mengadakan upacara Seba kepada “Bapak Gede” (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar. Pemukiman masyarakat Baduy berada di daerah perbukitan. Tempat yang paling rendah berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sehingga dapat dibayangkan bahwa rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang kaya akan sumber mata air yang masih bebas polusi. Lokasi yang dijadikan pemukiman pada umumnya berada di lereng gunung, celah bukit serta lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, yang dekat dengan sumber mata air. Semak belukar yang hijau disekitarnya turut mewarnai keindahan serta kesejukan suasana yang tenang. Keheningan dan kedamaian kehidupan yang bersahaja.

Gunung Krakatau Di Banten

Gunung Krakatau 

Daerah Anyer-Carita-Labuan, di sebelah barat Provinsi Banten yang pernah musnah dihantam tsunami saat Gunung Krakatau meletus tahun 1883, kini menjadi daerah wisata pantai nan elok. Pantainya yang landai dengan pasir putih menghampar bak permadani adalah pemandangan yang pantas dinikmati di saat matahari terbit atau terbenam. Carita tour Tidak heran, pesona alam di Selat Sunda ini menarik pemilik uang untuk mendirikan tempat-tempat penginapan dengan sebutan hotel, cottage, resort, rumah makan dan sebagainya yang bertebaran sepanjang pantai itu. Sebut saja hotel berbintang mulai dari Sol Elite Marbella, Mambruk, Lippo, Patra Jasa, Sang Hyang dan sederet nama lainnya.


Bahkan pemilik uang membeli tanah-tanah terbuka di pinggir pantai, kemudian dikelola menjadi tempat wisata milik pribadi yang memungut uang bagi pengunjungnya. Ada nama Objek Wisata Marina, Pasauran Indah, Cinangka Beach, Carita Beach dan sebagainya. Fasilitas yang disediakan pengelola objek wisata itu sederhana, di antaranya MCK (mandi, cuci, kakus), bangunan-bangunan dari kayu untuk lesehan dan warung-warung. Biasanya, pengelola juga menyediakan perahu atau alat-alat untuk berenang.

Alhasil, daerah Anyer-Carita-Labuan yang secara administratif masuk Kabupaten Serang (Anyer) dan Pandeglang (Carita-Labuan) menjadi padat oleh para investor, terkesan wilayah ini sudah tak ada lagi ruang terbuka yang benar-benar milik publik. Nyaris pantai di Selat Sunda sudah dikuasai investor hingga ke bibir pantai, untuk mengeruk uang yang ada di kantung-kantung pengunjung.

Terbukti, setiap akhir pekan pantai di Anyer-Carita-Labuan dipadati wisatawan dari berbagai daerah seperti Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan provinsi-provinsi lain. Jadi pemandangan biasa, jalur wisata ini menjadi macet, terutama dari arah Kota Cilegon di saat hari-hari libur. Sebab arus kendaraan ke daerah wisata ini seperti leher botol yang menyempit ketika memasuki jalan ke arah Anyer, selain badan jalan itu sendiri lebarnya hanya 12 meter.

Padahal ada rute alternatif yang jarang disosialisasikan oleh pemerintah setempat. Rute itu antara lain Serang-Taktakan-Cinangka-Anyer atau Serang-Padarincang-Mancak-Cinangka-Anyer. Kedua rute ini menempuh daerah pegunungan dengan panorama khas. Misalnya, di Mancak terdapat Cagar Alam (CA) Rawadanau seluas 2.500 hektare yang merupakan rawa tropik pegunungan yang tinggal satu-satunya di dunia.

Selain panorama pantai, dua anak Gunung Krakatau di Selat Sunda adalah kekuatan alam yang menarik untuk dikunjungi. Meski gunung ini termasuk administratif Provinsi Lampung, gunung ini lebih mudah dijangkau dari Provinsi Banten. Daya tarik dua anak gunung ini selain kepulan asap akibat aktivitas gunung, juga munculnya kehidupan baru di badan gunung. Ini merupakan hal yang mendorong ilmuwan atau pemerhati lainnya untuk datang.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Banten berkerja sama dengan perusahaan pariwisata setiap tahun menggelar acara kunjungan ke anak Gunung Krakatau dengan menggunakan kapal fery (penyeberangan) berkapasitas lebih 1.000 orang.

Wisata di Anyer dan sekitarnya bukan hanya pantai. Mercusuar Anyer diyakini sebagai titik nol jalan Anyer (Banten)-Panarukan (Jawa Timur) yang dibangun Gubernur Jenderal Daendles. Pembangunan jalan ini menelan korban ribuan pekerja paksa. Sayangnya, tak ada monumen atau prasasti untuk mengenang sejarah yang penuh darah itu.

Sedangkan di Caringin, Kecamatan Labuan (Kabupaten Pandeglang) terdapat sebuah masjid yang didirikan sezaman dengan berdirinya Kerajaan Islam Banten. Corak dan gaya arsitekturnya hampir sama dengan Masjid Agung Banten di tengah reruntuhan Kerajaan Islam Banten di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, 10 kilometer sebelah utara Kota Serang. Konon, masjid ini didirikan dalam waktu sehari seperti dongeng Sangkuriang-Dayang Sumbi di Tangkuban Perahu (Bandung) yang membangun kerajaan dalam sehari.

Namun peristiwa terbesar justru tidak terekam di daerah ini, yaitu musnahnya kehidupan di Anyer dan sekitarnya ketika Gunung Krakatau meletus tahun 1883. Peristiwa luar biasa ini memusnahkan Kota Anyer yang berpenduduk di atas 50.000, disusul dengan wabah malaria yang hebat. Kehancuran kota ini akibat gelombang tsunami yang dahsyat. Petugas Mercusuar di Ujungkulon di zaman itu mencatat, gelombang air mencapai ratusan meter di atas permukaan laut.

Kedahsyatan akibat letusan gunung ini sempat dipajang oleh pengelola Hotel Carita Beach yang berkebangsaan Jerman, berikut memajang foto dan karya Suku Baduy di Pegunungan Keundeung, Kabupaten Lebak. Hotel ini menggunakan bangunan khas Baduy. Setelah hotel ini dibeli oleh Grup Lippo dan mendirikan hotel modern, pajangan itu hilang. [*]Meski begitu, pantai Anyer-Carita-Labuan dan kini melebar ke Tanjung Lesung memang tetap menarik untuk dikunjungi. Paling tidak, daerah ini menjadi pelepas kejenuhan bagi warga Kota Jakarta. 

PAKAIAN ADAT BADUY



Pakaian Adat Baduy



Dulunya Banten adalah bagian dari Jawa Barat. Tetapi sejak tahun 2000, Banten memisahkan diri dan menjadi Provinsi Banten. Dari sisi kebudayaan Banten dan Jawa Barat memiliki kemiripan, begitu pula dengan pakaian adatnya. Meski begitu, Banten tetap memiliki ciri kebudayaan tersendiri. Salah satunya adalah pakaian adat Banten. Baju yang dikenakan masyarakat Banten sering disebut dengan baju pangsi. Sementara celananya disebut dengan celana komprang yang panjangnya sebatas mata kaki atau sampai betis. 
Dulu pakaian semacam ini sebenarnya juga sering digunakan oleh masyarakat Jawa Barat Sunda dalam kesehariannya, terutama pada saat melakukan pencak silat. Makanya, mengenakan pakaian adat ini seperti seorang jawara. Tapi, masyarakat Jawa Barat sudah jarang mengenakan pakaian semacam ini. Sementara masyarakat Banten, terutama suku Baduy masih menjaga kelestarian pakaian adat ini.Masyarakat Baduy masih mengenakan pakaian adatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Baduy adalah sebutan bagi suku di Banten. Baduy di Banten memiliki dua suku, yaitu Baduy  Dalam dan Baduy Luar. Pakaian adatnya sama, hanya saja warna yang menjadi ciri khas berbeda. Baduy Dalam sering mengenakan pakaian adat berwarna putih yang melambangkan kesucian. Sementara Baduy Luar mengenakan pakaian adat berwarna hitam.

Para pria Baduy Dalam memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang karena mereka mengenakannya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi pada bagian leher sampai bagian dada. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.

Pakaian yang dijahit sangat sederhana, bajunya tidak terdapat kancing. Selain itu juga, masyarakat Baduy mengenakan ikat kepala berwarna putih atau hitam. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang. Pakaian adat mereka lebih sederhana, dan lebih mengutamakan pendekatan alam, baik dari karakter busananya maupun warna polos yang dikenakan.

Pembuatannya hanya menggunakan tangan, tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun. Bagian bawahnya menggunakan kain sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain.

Adapun pakaian Baduy Luar, mereka mengenakan baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni.

Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar menunjukan, bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Pakaian bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek di pundaknya.     

Sedangkan pakaian yang dikenakan kaum perempuan Baduy Dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah.
Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy.

 Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri. Masyarakat suku Baduy menenun sendiri pakaian adatnya yang dikerjakan oleh kaum perempuan. Kaum perempuan mulai menenun setelah masa panen. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. 

Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.Di samping pakaian adat yang dijelaskan di atas, batik juga menjadi pakaian adat masyarakat Banten. Batik Banten bisa banyak ditemui di Kota Serang Banten. Meskpiun batik sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, tapi batik Banten memiliki ciri khas yang berbeda dengan batik lainnya.

Ciri khas tersebut utamanya terletak pada motif warna. Warna batiknya nampak meriah, sesuai dengan katakter masyarakat Banten pada umumnya yang kuat, semangat dan penuh dengan harapan. Warna batiknya juga memiliki perpaduan warna yang sesuai dengan pengaruh air bawah tanah.Batik Banten dipatenkan setelah mengalami pengkajian di Malaysia dan Singapura. Kajian ini diikuti oleh 62 negara di dunia. Hasilnya adalah, batik Banten meraih predikat terbaik sedunia. Bahkan batik Banten menjadi batik pertama yang memiliki hak paten UNESCO. Kini batik Banten telah tersebar di berbagai negara.[*]



[*] Mahasiswa Sejarah STKIP Setia Budhi Rangkasbitung

ALAT MUSIK KECAPI DI BANTEN




Alat Musik Kecapi


Sejarah alat musik kecapi Alat musik tradisional kecapi merupakan alat musik klasik yang selalu mewarnai beberapa kesenian di tanah Sunda. Membuat kecapi bukanlah hal gampang. Meski sekilas tampak kecapi seperti alat musik sederhana, tetapi membuatnya tidaklah gampang. Untuk bahan bakunya saja terbuat dari kayu Kenanga yang terlebih dahulu direndam selama tiga bulan. Sedangkan senarnya, kalau ingin menghasilkan nada yang bagus, harus dari kawat suasa (logam campuran emas dan tembaga), seperti kecapi yang dibuat tempo dulu. Berhubung suasa saat ini harganya mahal, senar Kecapi sekarang lebih menggunakan kawat baja.
<iframe width="420" height="315" src="http://www.youtube.com/embed/3UH5Lklv0mc" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Kecapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda. Waditranya terdiri dari kecapi dan Suling. kecapinya terdiri dari kecapi Indung atau kecapi Parahu atau kecapi Gelung. Selain disajikan secara instrumentalia, kecapi Suling juga dapat digunakan untuk mengiringi Juru Sekar yang melantunkan lagu secara Anggana Sekar atau Rampak Sekar. Lagu yang di sajikannya di antaranya : Sinom Degung, Kaleon, Talutur dan lain sebagainya. Laras yang di pergunakannya adalah laras Salendro, Pelog atau Sorog. Sejarah alat musik kecapi berasal dari daerah Sunda. Alat musik kecapi dimainkan sebagai alat musik utama dalam Tembang Sunda atau Mamaos Cianjuran dan kecapi suling.

Asal usul alat musik kecapi dalam bahasa sunda juga merujuk kepada tanaman sentul, yang dipercaya kayunya digunakan untuk membuat alat musik kecapi. Alat musik tradisional kecapi merupakan alat musik kelasik yang selalu mewarnai beberapa kesenian di tanah Sunda ini. Membuat kecapi bukanlah hal gampang. Meski sekilas tampak kecapi seperti alat musik sederhana, tetapi membuatnya tidaklah gampang. Untuk bahan bakunya saja terbuat dari kayu Kenanga yang terlebih dahulu direndam selama tiga bulan. Sedangkan senarnya, kalau ingin menghasilkan nada yang bagus, harus dari kawat suasa (logam campuran emas dan tembaga), seperti kecapi yang dibuat tempo dulu. Berhubung suasa saat ini harganya mahal, senar Kecapi sekarang lebih menggunakan kawat baja. Nada dalam kecapi sunda memiliki 5 ( pentatonis ) tangga nada yaitu Da, Mi, Na, Ti, La.

Pasangan alat musik kecapi sunda ini biasanya adalah suling sunda yang terbuat dari bambu. Alunan musik yang mengalir akan terasa mempesona pada telinga kita jika di mainkan keduanya. Kalau saya sendiri suka rindu akan kampung halaman. Indonesia sebagai bangsa yang terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku memiliki khasanah kebudayaan yang beraneka ragam, mulai dari musik, tari, rupa dan bentuk upacara–upacara ritual yang kemudian memberikan warna akan keaneka ragaman seni budaya bangsa. Sebagai seni pertunjukan yang telah mengalami proses yang sangat panjang dari masa-kemasa sehingga menjadi seperti sekarang ini adalah suatu perjalanan yang tidak mudah. Salah satunya kecapi suling di tatar Sunda.
Kecapi merupakan alat musik klasik yang selalu mewarnai beberapa kesenian di tanah Sunda. Membuat kecapi bukanlah hal gampang. Meski sekilas tampak kecapi seperti alat musik sederhana, tetapi membuatnya tidaklah gampang. Untuk bahan bakunya saja terbuat dari kayu Kenanga yang terlebih dahulu direndam selama tiga bulan. Sedangkan senarnya, kalau ingin menghasilkan nada yang bagus, harus dari kawat suasa (logam campuran emas dan tembaga), seperti kecapi yang dibuat tempo dulu. Berhubung suasa saat ini harganya mahal, senar Kecapi sekarang lebih menggunakan kawat baja.

Sejarah alat musik kecapi berasal dari daerah Sunda. Alat musik kecapi dimainkan sebagai alat musik utama dalam Tembang Sunda atau Mamaos Cianjuran dan kecapi suling. Asal usul alat musik kecapi dalam bahasa sunda juga merujuk kepada tanaman sentul, yang dipercaya kayunya digunakan untuk membuat alat musik kecapi. Alat musik tradisional kecapi merupakan alat musik kelasik yang selalu mewarnai beberapa kesenian di tanah Sunda ini. Membuat kecapi bukanlah hal gampang. Meski sekilas tampak kecapi seperti alat musik sederhana, tetapi membuatnya tidaklah gampang. Untuk bahan bakunya saja terbuat dari kayu Kenanga yang terlebih dahulu direndam selama tiga bulan. Sedangkan senarnya, kalau ingin menghasilkan nada yang bagus, harus dari kawat suasa (logam campuran emas dan tembaga), seperti kecapi yang dibuat tempo dulu. 

Berhubung suasa saat ini harganya mahal, senar Kecapi sekarang lebih menggunakan kawat baja.
Kecapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda. Waditranya terdiri dari kecapi dan Suling. kecapinya terdiri dari kecapi Indung atau kecapi Parahu atau kecapi Gelung. Selain disajikan secara instrumentalia, kecapi Suling juga dapat digunakan untuk mengiringi Juru Sekar yang melantunkan lagu secara Anggana Sekar atau Rampak Sekar. Lagu yang di sajikannya di antaranya : Sinom Degung, Kaleon, Talutur dan lain sebagainya. Laras yang di pergunakannya adalah laras Salendro, Pelog atau Sorog. Nada dalam kecapi sunda memiliki 5 ( pentatonis ) tangga nada yaitu Da, Mi, Na, Ti, La,

Suling sunda adalah instrument yang sangat popular dan hingga sekarang instrument ini masih begitu memiliki arti khusus pada Masyarakat Sunda. Jika kita masuk ke rumah makan Sunda, makan tidaklah lengkap jika tidak ada alunan suling Sunda baik itu pertunjukan secara langsung maupun dari kaset rekaman, nampak akan tidak terasa sundanya jika kita makan makanan ala sunda atau segala sesuatu yang berbau Sunda tanpa alunan instrument satu ini (suling sunda). 

Intrumen suling terdapat di seluruh daerah di Indonesia, namun pengaruhnya di masyarakat berbeda-beda. Masyarakat sunda memiliki kekhususan terhadap intrumen satu ini. Suling sunda yang paling popular adalah apa yang disebut suling lubang enam dan lebih spesifiknya disebut suling tembang. Suara suling yang mendayu-dayu dalam laras pelog merupakan suatu ciri sendiri yang begitu melekat pada masyarakat Sunda. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai hal-hal tentang suling sunda lubang enam secara organologi.