Selasa, 22 Mei 2012


Sejarah  Banten
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak.
Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
         Kerajaan  Banten  mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Asal-usul Banten sebagai sebuah kerajaan Islam agak unik juga. Kerajaan ini tidak bermula dari tumbuhnya dan membesarnya sebuah kekuasaan lokal, tetapi muncul sebagai akibat dari ekspansi kekuasaan dari luar. Dalam usaha untuk meluaskan kekuasaan dan mengembangkan Islam, Sunan Gunung Jati, ulama -penguasa dari Cirebon dan salah seorang Wali Sanga, mendirikan Banten, yang terletak di ujung Barat Pulau Jawa. Setelah itu, Sunan Gunung Jati meninggalkan putranya sebagai penguasa Banten yang pertama. Ketika kemudian Cirebon melepaskan perwaliannya atas wilayah di ujung Barat Pulau Jawa (1552) kesultanan Banten pun resmi berdiri dan Pangeran Adipati Hasanuddin pun menjadi Sultan Hasanuddin.
Tradisi sejarah Banten tidak bisa melupakan bahwa Maulana Jusuf tewas ketika ia ingin meluaskan pengaruh dan kekuasaan kesultanan Banten ke Palembang, tetapi dengan memakaikan keuntungan dari tinjauan ke belakang (atau historical hindsight, kata orang sana) kekalahan ini sesungguhnya bisa dilihat sebagai awal dari konsolidasi kekuasaan internal Banten. Dan sejak itu pula Banten semakin tampil sebagai entrepot yang terbesar di Pulau Jawa. Saingan Banten di Nusantara sebagai entrepot pelabuhan yang menerima barang impor, mengirim barang ekspor, dan mengekspor barang impor- hanya Aceh di Barat dan Makassar di Timur. Ukuran kebesaran enterpot ini bisa dilihat juga antara lain pada perkiraan jumlah penduduk yang diberikan oleh para pelapor asing.

Tentang Banten laporan-laporan asing memperlihatkan bahwa antara tahun 1660-1690 terjadi fluktuasi yang hebat juga dari jumlah penduduk. Sebuah perkiraan pada tahun 1662 mengatakan bahwa penduduk Banten lebih dari 100 ribu, tetapi pada perkiraan pada tahun 1672 telah memperlihatkan lonjakan jumlah yang hebat. Pada waktu itu diperkirakan jumlah penduduk 800 ribu. Sepuluh tahun kemudian 700 ribu. Tetapi pada tahun 1696 telah turun menjadi 125 ribu. Sudah pasti perkiraan jumlah penduduk itu tidak akurat, tetapi dalam perbandingan perkiraan ini memperlihatkan bahwa Banten mempunyai penduduk yang terbesar di Nusantara. Saingannya hanya perkiraan jumlah penduduk Mataram pada tahun 1624. Karena itu bisa jugalah dipahami kalau sumber-sumber tentang sejarah Banten selama abad ke-16 – abad ke-17 sangat banyak juga. Penurunan jumlah penduduk yang drastis dari tahun 1682 -1696 tentu masuk akal juga, karena pada tahun 1682 itulah masa akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu sejarah Banten hanyalah berisikan kisah kemerosotan saja sampai akhirnya menjadi residentie Banten.

Sejak itu sejarah Banten adalah rentetan dari kisah yang “menunda kekalahan” saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat pada ayahandanya serta-merta menyebabkan karisma tradisional yang dipegang kraton pun meluntur pula. Seperti juga halnya dengan Mataram, ketika penetrasi dan pengaruh kekuasaan asing telah semakin dirasakan, maka kraton pun ada kalanya menjadi sasaran pemberontakan.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa (Abdulfattah) bisa dikalahkan, independensi Banten mulai setahap demi setahap digerogoti. Sultan Haji memerintah, tetapi hegemoni telah berada di tangan VOC. Kemudian hegemoni ini secara berangsur menjadi dominasi (mulai dari zaman Daendels) sampai akhirnya resmi berada di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda — kesultanan telah dihapuskan. Benar, sejarah Banten adalah sejarah tentang sebuah daerah di tanah air kita, tetapi dari sudut pandang lain, sejarah Banten mungkin bisa juga dilihat sebagai sebuah gambaran umum dari “lahir dan tumbangnya” kekuasaan pribumi — lahir, tumbuh, berkembang menjadi pusat dagang, melawan monopoli, perang, kalah, hegemoni asing, dominasi, akhirnya kolonialisme.
Sultan Ageng  titayasa
Sultan  Ageng  Tirtayasa  (Banten, 1631 - 1692)  adalah  putra  Sultan  Abu  al-Ma'ali Ahmad  yang  menjadi  Sultan  Banten  periode  1640-1650. Ketika  kecil,  ia  bergelar  Pangeran Surya. Ketika  ayahnya  wafat, Ia  diangkat  menjadi  Sultan  Muda  yang  bergelar  Pangeran Ratu   atau  Pangeran  Dipati. Setelah  kakeknya  meningdengan  gelar Sultan Abdul  Fathi  Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng  Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
  • Sunan Gunung Jati
  • Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
  • Maulana Yusuf 1570 - 1580
  • Maulana Muhammad 1585 - 1590
  • Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.)
  • Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
  • Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
  • Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
  • Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
  • Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
  • Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
  • Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
  • Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
  • Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
  • Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
  • Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
  • Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
  • Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
  • Aliyuddin II (1803-1808)
  • Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
  • Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
130 M  Berdiri  Kerajaan  Salakanagara  (Negeri Perak)  yang  beribukota  Rajatapura  yang terletak  di  pesisir  barat  Pandeglang.
Raja   pertama   Dewawarman  I  (130 – 168 M)  yang  bergelar  Aji  Raksa  Gapurasagara      (Raja  penguasa   gerbang  lautan)
Daerah  kekuasaannya  meliputi :
- Kerajaan   Agrabinta  di  Pulau  Panaitan
-  Kerajaan  Agnynusa  di  Pulau  Krakatau
Setelah  Penelitian  pada  tanggal  15  April  2012, menurut  sepengetahuan  saya  sejarah  banten  itu  adalah negeri yang sangat kaya sumber sejarah dan memiliki kekhasan karena berada di dua tradisi utama nusantara, yaitu tradisi kerajaan jawa, dan tradisi perdagangan melayu. Kerajaan ini tidak hanya menulis sejarahnya sendiri, tetapi juga meransang banyak tulisan dari pengunjung2 asing. Alhasil rekonstruksi atas masyarakat, kebudayaan dan mentalitas dinegeri lebih baik daripada dinegeri-negri lain di nusantara.
165 M  Banten  (Pulau  Panaitan) masuk  dalam  peta  yang  dibuat  oleh  Claudius Ptolomeus  sebagai  bagian  dari  jalur  pelayaran  dari  Eropa  menuju  Cina  dengan  melalui India, Vietnam, ujung  utara  dan  pesisir  barat  Sumatera, Pulau  Panaitan, Selat  Sunda,  terus melalui Laut Cina Selatan sampai ke Daratan Cina.Abad 5 M Prasasti Munjul yang diperkirakan berasal dari abad ke V masehi ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul – Pandeglang.
Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara pada saat itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.Abad XII – XV Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran.
Abad XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.
Abad   XVI  Awal  abad  ke  XVI,  Banten  dibawah  pemerintahan  Prabu  Pucuk  Umun  (Dalam Babad Cibeber disebut juga sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat pemerintahannya terletak di Banten Girang, yang dihubungkan dengan pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten, dan melalui Klapa dua  sebagai  jalur  darat.
1552 M Kemajuan perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status Banten ditingkatkan dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk sebagai raja pertama. Dan pada tahun yang sama pula, Fatahillah (menantu dari Sunan Gunung Jati) diangkat menjadi raja di Cirebon, mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan mangkatnya raja Cirebon, Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun tersebut. Untuk menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus Angke, menantu Sultan Hassanudin.
1552-1570 M Masa Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M.
Pada masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.

Kota Banten dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan. Bangunan bangunan pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan meriam. Di tengah kota terdapat alun alun yang digunakan untuk kegiatan ketentaraan, kesenian rakyat dan juga sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di sisi selatan alun alun, disampingnya dibangun bangunan datar yang ditinggikan dan diatapi yang disebut srimanganti, sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Di sebelah barat alun alun dibangunlah Masjid Agung Banten.
Sultan Hassanudin dalam  usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten lebih menitik beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping memperluas lahan pertanian  dan  perkebunan. Pada masa pemerintahannya, Banten telah menjadi pelabuhan utama di Nusantara, sebagai  persinggahan  utama  dan  penghubung  pedagang  pedagang  dari  Arab, Parsi, Cina, dengan  kerajaan kerajaan di Nusantara. Sultan Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung. Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan Sedakinking. Sebagai penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai Raja Banten ke 2.
Dengan majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan penduduk pribumi maupun pendatang membuat diberlakukannya aturan penataan dan penempatan penduduk berdasarkan keahlian dan asal daerah penduduk. Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan di luar tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan bagi pedagang muslim dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar Karangantu, Pecinan yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di sebelah barat Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan pemukiman ini selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota juga untuk kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan kota.
Selain penataan pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok keliling kota dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit parit disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan penambahan bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek muslim asal Mongolia.

Untuk kepentingan irigasi bagi persawahan yang berada di sekitar kota dan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kota Surosowan, di buatlah danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian disalurkan ke daerah daerah sekitar danau. Dengan melalui pipa pipa terakota, setelah diendapkan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang sudah jernih dialirkan ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota. Di tengah danau buatan ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga keraton.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan di Pakalangan Gede dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan karenanya beroleh gelar Pangeran Panembahan Pakalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai pengganti, diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad yang pada waktu itu baru berusia 9 tahun.1579 M Pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf berhasil merebut Pakuan, ibu kota Kerajaan Pajajaran dan menguasai seluruh wilayah bekas kerajaan Pajajaran.
Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau Prabu Surya Kencana, yang juga dijuluki Prabu Pucuk Umun atau  Panembahan Pulosari, karena pada akhir masa kepemerintahannya berkedudukan di gunung Pulosari, Pandeglang. Benteng Pulosari dapat dikuasai oleh Sultan Maulana Yusuf pada tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal 987 H.
1580-1596 M Sultan Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan
Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai.
Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam, beliau banyak mengarang kitab agama Islam dan membangun masjid hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi khatib dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari Raya. Pada masa kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi dinding dengan keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan.
Sultan Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat penyerangan ke Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas, keturunan dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan tertembak ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi.
Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
1596-1651 M Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya.
Masa awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan.

Pada saat Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri yang telah menikah kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam kenyataannya banyak menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki wibawa dan keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan pedagang Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri.

Puncak dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di tahun 1608 – 1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang dilancarkan oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat dihentikan atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat perjanjian perdamaian antara semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran Ranamanggala sebagai Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu  Banten menjadi  aman  kembali.
            Tetapi di saat ini pulalah VOC sedang berada pada tahap perkembangannya yang agresif dan sedang asyik memperkenalkan serta memaksakan sebuah sistem yang sama sekali tak dikenal oleh tradisi Nusantara yang bertolak dari pemikiran laut bebas (mare liberum). Sistem itu ialah monopoli. Maka perbenturan antara Batavia, yang mempunyai kemampuan teknologi persenjataan yang lebih canggih dan tentara yang telah mengalami suka-duka berbagai macam perang, dengan Banten, yang lebih sibuk menjalin ikatan perdagangan terbuka. Perang terjadi dan Banten kalah. Akan tetapi, lebih dari itu sekadar kekalahan kejatuhan Sultan Ageng bermula dari pengkhianatan sang putra mahkota, Sultan Haji.

Sejak itu sejarah Banten adalah rentetan dari kisah yang “menunda kekalahan” saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat pada ayahandanya serta-merta menyebabkan karisma tradisional yang dipegang kraton pun meluntur pula. Seperti juga halnya dengan Mataram, ketika penetrasi dan pengaruh kekuasaan asing telah semakin dirasakan, maka kraton pun ada kalanya menjadi sasaran pemberontakan.

Setelah Sultan Ageng Tirtayasa (Abdulfattah) bisa dikalahkan, independensi Banten mulai setahap demi setahap digerogoti. Sultan Haji memerintah, tetapi hegemoni telah berada di tangan VOC. Kemudian hegemoni ini secara berangsur menjadi dominasi (mulai dari zaman Daendels) sampai akhirnya resmi berada di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda — kesultanan telah dihapuskan. Benar, sejarah Banten adalah sejarah tentang sebuah daerah di tanah air kita, tetapi dari sudut pandang lain, sejarah Banten mungkin bisa juga dilihat sebagai sebuah gambaran umum dari “lahir dan tumbangnya” kekuasaan pribumi — lahir, tumbuh, berkembang menjadi pusat dagang, melawan monopoli, perang, kalah, hegemoni asing, dominasi, akhirnya kolonialisme.

Jika diartikan secara harfiah ungkapan Prancis l’histoire se repete, sejarah berulang, memang tidak benar. Ungkapan ini tidak benar kalau sejarah diartikan sebagai salinan yang murni dari “apa, siapa, di mana, dan bila”, tetapi mempunyai validitas relatif kalau yang ingin ditemukan ialah pola umum yang berlaku. Peristiwa sejarah yang biasa dikatakan hanya sekali terjadi, einmalig, itu sesungguhnya mempunyai unsur yang “khusus” dan “umum”. Adapun yang khusus dan tak berulang ialah kenyataan bahwa “Sultan Ageng Tirtayasa (siapa) yang melawan usaha penetrasi kekuasaan Belanda (apa) di Banten (di mana) pada tahun 1682 (bila),” sedangkan yang merupakan gejala umum itu ialah kecenderungan bahwa “raja adalah lembaga yang pertama yang melawan usaha penetrasi Belanda”. Kecenderungan umum ini terjadi di manamana, meskipun dalam waktu atau abad yang berbeda-beda.

Meskipun dengan memakai konsep pola umum ini Banten unik juga-jika bukan dalam corak peristiwa yang dialaminya, setidaknya begitulah yang terjadi pada struktur kesadaran yang dipantulkan oleh satu-dua pejabat Belanda. Pada gilirannya kesadaran ini memberi akibat juga pada cara sebuah bangsa yang sedang berada dalam proses pembentukannya untuk melihat sejarahnya. Begitulah umpamanya, Onno Zwiervan Haren menulis sebuah drama yang mencekam dengan judul Agon Sulthan van Bantham . Drama ini berkisah tentang bantuan militer Belanda pada anak Sultan Ageng yang durhaka. Dan kemudian, siapakah yang bisa melupakan karya Multatuli, Max Havelaay, yang berkisah tentang penderitaan rakyat dan ketidakberdayaan pejabat yang bermaksud baik? Kolonialisme adalah hubungan internasional yang bercorak subordinatif dan eksploitatif mempunyai akibat sosial yang penting.
Sejak itu sejarah Banten adalah rentetan dari kisah yang “menunda kekalahan” saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat pada ayahandanya serta-merta menyebabkan karisma tradisional yang dipegang kraton pun meluntur pula. Seperti juga halnya dengan Mataram, ketika penetrasi dan pengaruh kekuasaan asing telah semakin dirasakan, maka kraton pun ada kalanya menjadi sasaran pemberontakan.

Pemberontakan Cilegon sebenarnya memperlihatkan hal lain lagi. Banten yang telah kehilangan kesultanan ternyata tidak kehilangan beberapa hal yang fundamental, yaitu semangat independen, “nasionalisme lokal” yang kental, dan keterikatan pada norma keagamaan. Ketika kesultanan telah mengalami proses pelemahan dan kemudian malah dihapuskan dan di saat kedudukan bangsawan semakin terjepit, ketika itu pula para ulama semakin tampil sebagai pemimpin lokal.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar